Kamis, 06 September 2018

Hati, Pikiran, dan Doa

Entah kenapa, semakin ke sini, kok rasanya menyukai seseorang nggak bisa sebebas dulu lagi.
Yang kalo suka, ya udah suka aja. Sekarang mau suka sama cowok aja mikir dulu. Ada yang pernah ngerasain hal serupa?

Aneh aja sih. Belakangan jadi sering mikir, sayang itu apa sih sebenarnya? Cinta tuh apa sih sebenarnya? Kapan kita bisa dibilang sayang sama orang itu? Kenapa orang-orang bisa tau kalau dia sayang sama seseorang dan dia yakin perasaan itu pasti rasa sayang?

Ya emang aku kebanyakan mikir sih kayaknya. Hidup jadi keliatan lebih berat dari yang seharusnya, karena dipikirin mulu. Bukan juga aku nggak pernah suka sama cowok sebelumnya, cuman itu sudah beberapa tahun yang lalu, dan sudah lupa gimana rasanya, karena setelah itu menutup hati. Kadang cuman baper sementara doang, terus hilang setelah sadar itu bukan perasaan suka, tapi cuman kebaperan semata.

Mungkin itu kenapa teman-teman dekatku selalu bilang kalau aku nggak peka. Nggak peka sama perasaan sendiri, nggak peka juga kalo lagi dideketin. Semua dianggap sama. Soalnya yang ada dalam pikiranku selama ini, ya kalau dianya serius, dianya pasti ngomong kok. Kalau dianya nggak ngomong dan nggak berani ngambil resiko ditolak, berarti dia nggak serius, atau ada alasan lain dibaliknya sampai dia nggak bisa ngomong langsung ke aku. Tapi bisa jadi juga karena akunya yang terlalu cuek, jadi dianya merasa nggak ada harapan. Kata temen deketku sih gitu.

Kadang kalau ada di tengah-tengah orang lagi falling in love gitu ya, aku jadi penasaran sama apa yang lagi mereka rasakan. Sampai sekarang, aku bahkan masih galau, perasaan yang aku rasain sekarang ini perasaan macam apa. Bisakah perasaan ini dikatakan sayang? Atau hanya rasa takut kehilangan? Atau perasaan yang tumbuh hanya karena terlalu sering bertemu? Entah.

Ya Allah, jika memang perasaan ini jatuh pada orang yang tepat, tolong biarkan perasaan ini, mengalir apa adanya, hingga ia pun bisa merasakannya. Jika memang bukan, tolong berikan hamba keikhlasan untuk melepas perasaan ini, merelakan dirinya, yang memang bukan jodoh yang telah Engkau siapkan untuk hamba.

Kepada Kamu

Kepada kamu yang berada di ujung sana,

Entah apa yang kamu rasakan, itu sepenuhnya milikmu, sepenuhnya teritorimu.
Aku tak bisa memaksamu, apapun keadaannya.
Apalagi dengan segala ketidakpastian atas apa yang aku rasakan saat ini.

Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Untuk kesehatanmu.
Untuk kelancaran segala urusanmu.
Termasuk jodohmu.

Aku ingin kamu bertemu dengan wanita yang baik, yang mengerti dirimu.
Yang mencintaimu.
Yang siap mengikuti langkahmu, berjalan beriringan denganmu.
Walaupun bukan aku, tidak apa-apa.
Kamu pantas mendapatkan yang terbaik.

Tanpa aku sadari, mungkin selama ini, aku memperhatikanmu.
Memperhatikan gerak gerikmu.
Memperhatikan kebiasaanmu.
Tanpa aku sadari, aku mengagumimu.

Aku melihat,
ada kerapuhan dalam dirimu,
ada kerinduan mendalam,
entah pada siapa.
Pada ayahmu, ibumu, keluargamu, mungkin.

Namun...
Aku juga melihat,
di balik segala tingkah kekanakanmu,
ada tanggung jawab yang kamu pikul seorang diri.
Entah itu tanggung jawab atas dirimu, pekerjaanmu, keluargamu.
Aku melihat,
dari segala tutur kata yang terkesan cuek dan sembarangan,
ada hati yang lembut, yang tak sampai hati untuk menyakiti perasaan orang lain.
Aku melihat,
di balik segala tingkah santaimu,
ada perjuangan luar biasa sampai kau berada di titik ini.

Kepada kamu yang sibuk di sana,

Dengan siapapun kamu, nanti, aku akan ikut senang untukmu.
Seperti aku ikut senang atas segala pencapaianmu.
Seperti aku dapat merasakan segala kerisauanmu.
Aku ingin ada, kapanpun,
saat kamu sedih, senang, risau, bahagia.

Suatu saat nanti, tolong beritahu aku.
Siapa dia, wanita yang berhasil meluluhkan hatimu dan bersedia selalu berada di sampingmu.
Siapa wanita yang mau merelakan sisa hidupnya bersama dengan kamu,
yang sibuk dengan segala kegiatanmu,
yang cuek dan suka sembarangan.

--Yogyakarta, 6 September 2018--

Minggu, 02 September 2018

Surat#3 : Maafkan

Maafkan aku.
Maafkan.
Sungguh.
Aku tak bisa menahan lebih lama lagi,
agar pintu-pintu itu tetap terbuka.
Aku memilih untuk menutupnya saja,
lalu pergi.
Menjauh,
darimu, dari keramaian.
Bisa jadi, untuk selamanya.
Namun, bukan berarti aku tak kan berpaling,
kembali padamu.
Suatu saat, mungkin saja.
Walaupun hanya salah satu pintu,
bisa jadi.
Itu tergantung padamu.
Ku serahkan segala keputusan di tanganmu kini.

Inginkah kau datang padanya?
Kalau tak ingin, jangan kau paksakan.
Biar ku tutup saja.
Kalau ingin, segeralah pergi.
Datanglah padanya,
lalu kejarlah pintu mana pun yang masih terbuka.
Semoga waktu berpihak padamu.